Menghidupi Kematian



Belakangan saya jarang sekali update blog, bahkan bisa dibilang tidak pernah sama sekali. Kesibukan dan kerisauan terus bergumul di dalam batin saya sejak 2018 terakhir. Hasrat untuk mengakhiri hidup acap kali saya jumpai menjelang tidur atau dikala sendiri. Sulit sekali memang, melepaskan ikatan keinginan untuk mati ini. Pasalnya ia tak simpang siur, ia hadir ribuan kali.

Ya, saya krisis kepercayaan terhadap apapun dan siapapun termasuk diri saya sendiri. Bahkan saya sangat membenci diri saya sendiri, jauh dari yang pembaca bayangkan. Jika sudah penuh dan menuai peluh, ujung rantingnya akan berada pada menyakiti diri sendiri. Entah melukai tangan sendiri, membenturkan kepala ke tembok, atau menjambak-jambak rambut sendiri. Sungguh, itu adalah fase yang harus saya lewati hampir setiap hari.

Saya pernah mengalami pelecehan seksual, abuse verbal maupun non verbal, dan kehilangan. Ditinggalkan tekanan dari pelbagai sudut membentuk niat saya agar ingin segera mati saja. Tidak mudah melawan suara-suara yang berkeliaran ditelinga tiap kali sunyi menerjang. Ada yang bilang ini perkara saya sudah jarang sembahyang. Ada pula yang berpendapat mungkin saya sedang diganggu jin setan, tapi tak sedikit pula yang mengira saya hanya pura-pura.

Hingga sampai pada titik dimana saya tidak menghargai dan mencintai diri saya sendiri. Saya menganggap bahwa perempuan seperti saya adalah komoditas seks, dan tak lebih dari penyuplai ekonomi. Saya merasa tidak pantas hadir ditengah-tengah masyarakat dengan membawa nama pergerakan, bahkan saya sudah merasa tidak pantas lagi untuk hidup. Karenanya mati menjadi tujuan saya saat itu.

Namun agaknya Tuhan memang benar Maha Asyik, surat kematian saya mendapat respon yang tak pernah saya prediksi sebelumnya. Banyak manusia berpunggung manis berdatangan. Silih berganti meniupkan semangat-semangat penghidupan pada raga yang sudah mati jiwanya ini. Tak hanya itu banyak juga diantara mereka yang menawarkan diri untuk menemani langsung, bahkan tanpa dipinta pun mereka hadir. Tuhan seakan tak ingin  kematian saya sia-sia sebelum berguna. Ia hendaki diri saya untuk menghidupi kematian dengan ruh-ruh baru dari sanak saudara yang hilir mudik menyemangati. Bahkan Ia hadirkan sosok lembut nan menyejukkan untuk mendampingi sampai saya mampu menggunakan otak saya kembali.

Terkadang mencintai diri sendiri yang terdengar egois itu adalah bentuk untuk menyelamatkan kita pribadi, begitu kira-kira kata salah satu perempuan berpunggung wangi nun jauh di mata pada ku, lewat pesan singkat. Saya sangat bersyukur, hingga detik ini saya masih bisa bernafas dan menikmati seduhan kopi dipagi hari. Saya diselamatkan oleh kawan-kawan yang sudah meluangkan waktunya untuk memperhatikan saya. Meskipun tak sedikit yang mengira ini adalah cara untuk mencari perhatian para pemirsa. Ah sudahlah.. akan selalu ada manusia demikian.

Pada akhirnya semua akan baik-baik saja. Mungkin saja teman-teman membaca tulisan ini, saya ingin berpesan, bahwa seberat apapun masalah kalian, jangan serta merta mati. Kamu mungkin akan baik-baik saja, namun tidak dengan orang-orang yang mencintaimu. Kalian tidak sendiri, masih banyak yang mau peduli dengan apa yang kalian hadapi. Tuhan berpurwa rupa, bisa jadi sahabat karib mu atau teman mu dari jauh adalah wakil Tuhan untuk menanyakan keadaanmu? Jika pembaca mengalami hal serupa, saya membuka tangan lebar-lebar untuk siapa saja yang ingin berbagi kisah. Saya mungkin tidak bisa menyelesaikan permasalahan pembaca, namun izinkan saya membalas kebaikan mereka dengan mengurangi beban pembaca melalui bercerita. Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi pendengar yang baik. Hubungi saya lewat email atau direct message instagram ke @soereree, tetaplah hidup, semesta ini mencintai mu. Teruslah bergerak, punggung wangi tak boleh berhenti.

Comments

Post a Comment