EUFORIA POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF FEMINISME



            Poligami menjadi salah satu everlasting topic baik dalam pergerakan perempuan maupun dalam dunia dakwah. Pembelaan kaum perempuan dari praktek poligami pun telah dilakukan Gerwani “Gerakan wanita indonesia” (1950 – 1965). Sampai saat ini, para aktivis masih melihat poligami sebagai tindakan diskriminasi yang nyata terhadap perempuan. Namun, perlawanan terhadap praktek poligami seperti mengalami inkonsistensi dalam pelaksaannya. Kasus pernikahan Ir. Soekarno dan hartini misalkan, gerwani yang secara tertulis menolak praktek poligami tidak dapat menentukan sikap terhadap pernikahan mereka1.

            Hal ini dikarenakan pada era reformasi, perpolitikan indonesia masih sangat bergantung pada kehadiran Ir.soekarno2. Dukungan dari organisasi massa islam terhadap tindakan bung karno juga menimbulkan pro-kontra3. Hingga kini, sejarah tersebut mewakili perspektif feminisme terhadap praktek poligami. Dewasa ini, poligami kembali menjadi primadona pembahasan oleh aktivis perempuan. Praktek tersebut diklaim merupakan bentuk penindasan terhadap perempuan.

            Jika ditelisik, pemahaman poligami berdasarkan perspektif islam adalah, salah satu amalan yang jika dilakukan mendapatkan pahala, sedangkan jika ditinggalkan tidak akan mendapatkan dosa (sunnah)4. Dalam ajaran islam, laki-laki di perbolehkan untuk menikah sebanyak 4 kali, dengan syarat menjaga keadilan dalam hal lahiriah maupun batiniah antar sesama istri yang ia nikahi5. Nabi Muhammad SAW pun juga melakukan praktek poligami. Diantaranya perempuan yang dinikahi oleh Nabi Muhammad SAW adalah janda-janda tua, dan janda tua yang suaminya meninggal akibat perang. Tujuan dari poligami sendiri adalah agar para perempuan tersebut tetap terlindungi, terayomi dan terhindar dari fitnah, juga terlindungi dari penyusupan idealisme yang mampu merusak keimanan pasca perang. Pun pada zaman itu, jumlah perempuan dan laki-laki sangat tidak seimbang.

            Salah satu tokoh agama Emha Ainun Najhib memaparkan dalam bukunya yang berjudul “istriku seribu” dijelaskan dengan gamblang melalui istilah yang mudah sekali untuk kita terima. Emha mengumpamakan poligami kepada sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim Allah SWT6. Sifat Allah SWT yang Ar-Rahim (cinta kedalam, cinta vertikal, cinta personal). Sedangkan Ar-Rahman cinta skala besar (cinta meluas, cinta horizontal, cinta keluar). Emha menuturkan “kanjeng nabi istri Ar-Rahimnya adalah khadijah, yang bersamanya justru beliau berdua memberi kontribusi-kontribusi besar secara Ar-Rahman, lalu setelah khadijah wafat, istri Ar-Rahimnya adalah Aisyah RA”. Emha menekankan bahwa apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW semata hanya ingin membantu dan melindungi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial, dengan menikahinya (istri Ar-Rahman). Sedangkan istri Ar-Rahim Nabi Muhammad SAW hanya satu. Bahkan dalam bukunya Emha mengamini bahwa istri Ar-Rahman Nabi Muhammad SAW bukan hanya yang dinikahi secara sah sahaja, melainkan semua ummatnya adalah istri Ar-Rahman, yang wajib diayomi dan dijaga.

Kondisi demikian sangat bertolak belakang dengan praktek poligami yang ada sekarang. Banyak pemuka agama yang menggunakan alasan “beribadah” untuk melakukan praktik poligami. Sulit kita temui urgensi melakukan praktik poligami dari tokoh agama saat ini. Perempuan yang menjadi sasaran poligami juga 360 derajat berbeda dengan  perempuan yang dinikahi Nabi Muhammad SAW. Hal ini juga memicu opini baru dari masyarakat, bahwa orientasi poligami dewasa ini, bukan lagi untuk beribadah atau mengikuti jejak Muhammad SAW. Melainkan hanya untuk menghidupi kepuasan batin dari pelaku praktik poligami.

            Maka bukan menjadi hal yang aneh jika banyak pegiat feminist dan pegiat perempuan yang mengecam praktik poligami. Namun statement bahwa poligami adalah bentuk nyata dari diskriminatif terhadap perempuan adalah salah besar dan poligami wajib dikaji lebih jauh lagi. Berdasarkan sejarah dan literasi, apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah bentuk pengabdian sosial yang Ia lakukan untuk melindungi ummatNya. Daripada itu, semoga tulisan ini mampu memberikan pandangan baru bagi teman-teman pembaca.





1.        Amuwani Dwi Lestari, 2011, Gerwani : Kisah Tapol Wanita dari Kamp Platungan, Kompas.
2.        Cindy Adam, 2014, Bung Karno penyambung lidah rakyat indonesia (edisi revisi), Media Pressindo.
3.        Cindy Adam, 2014, Bung Karno penyambung lidah rakyat indonesia (edisi revisi), Media Pressindo.
4.        Abu Umar Basyir, 2016, Poligami Anugrah yang Terzhalimi, Rumah Dzikir.
5.        Al-Qur’an, Surat An-Nisaa (3 dan 129).
6.        Emha Ainun Najhib, 2015, Istriku Seribu, Bentang Pustaka.

Comments