Hati
saya berduka sedalam-dalamnya untuk surabaya. 13-14 mei 2018, 28 orang tewas,
dan 57 luka-luka. Tragedi beruntun yang
disinyalir merupakan gerakan extrimis ini sangat mematahkan hati seluruh rakyat
indonesia. Pasalnya aksi teror tidak hanya terjadi di surabaya. Berawal dari
insiden mako brimob, kemudian pengeboman 3 gereja di surabaya, disusul dengan bom yang meledak saat dirakit di rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, lalu terulang kembali pengeboman di Mapolrestabes Surabaya.
Saya
pribadi tidak habis pikir, apa pemicu dari tindakan mereka. Apa yang mendasari mereka
mendaftarkan diri sebagai pion kaum radikalis. Marah, dan
berduka pasti kita rasakan. Terorisme adalah perlawanan terhadap kemanusiaan.
Apapun alasan di balik tragedi ini, sangat tidak dibenarkan. Tidak ada satu
agama pun yang mengajarkan untuk membunuh satu sama lain.
Kabar
lebih buruk ialah beberapa pelaku pengeboman, terhadap 3 gereja di surabaya melibatkan anak-anak. Para eksekutor adalah satu keluarga. Keterlibatan
anak-anak dalam aksi pengeboman ini menimbulkan duka yang lebih dalam lagi bagi
saya pribadi. Kemudian munculah beberapa pertanyaan, bagaimana bisa anak usia
belasan tahun rela melakukan hal tersebut? Apakah di luar sana
masih banyak pemuda yang serupa? Lalu, bagaimana interaksi mereka dengan
guru-gurunya? Apakah tidak ada sedikitpun tindak tanduk yang mengarah pada
radikalisme? Adakah hal yang menyebabkan orientasi mereka berbeda?
photo by headlinebogor.com |
Mereka
seumuran dengan adik saya, mungkin adik pembaca juga. Bisakah kita bayangkan,
anak usia belasan tahun dengan berbagai mimpi berbagai keingin tahuan, tumbuh
di tengah keluarga demikian. Mungkin saja, masih banyak pertanyaan yang belum
tuntas bagi mereka. Dengan siapa ia boleh berbagi, jika dalam lingkungan
keluarga saja mereka sudah menjadi korban. Bisa jadi, mereka tak ingin
melakukan hal tersebut, bisa jadi mereka masih ingin meraih mimpi, mengubah
dunia menjadi lebih baik, menjadi guru, dokter atau seniman, atau apapun yang mereka
impikan.
Keterlibatan
anak-anak dalam aksi terrorisme menjadi yang pertama kali di indonesia. Pertanyaanya
adalah dimana kita? Apa yang bisa kita perbuat? Sudah sejauh apa kita
bermanfaat untuk masyarakat? Kalau saja kita lebih peduli terhadap sesama, tak
pandang bulu, mungkin serangkaian kejadian di atas tidak akan pernah terwujud. Kalau
saja gerakan kita tidak sebatas retorika, saya rasa tidak akan ada telunjuk yang saling tuding.
Sudah
menjadi tanggung jawab kita sebagai masyarakat, untuk menjaga bumi pertiwi dari
otak-otak propagandais keji, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan
mereka. Terrorisme bukan soal minoritas atau mayoritas, terrorisme adalah
kriminalitas terhadap kemanusiaan. Siapapun bisa jadi korban, apapun agamanya,
sukunya, warna kulitnya semua memiliki potensi yang sama. Saya mengecam
tindakan terrorisme, juga pemanfaatan anak-anak di dalam aksi terrorisme itu
sendiri.
Tulisanmu adalah keresahanku akhir akhir ini 😭
ReplyDelete