GERWANI Dalam Pusaran Rezim Orde Baru


                Pada pertengahan tahun 1950 sejarah mencatat keberhasilan organisasi kaum perempuan terbesar se-Indonesia. Organisasi perempuan yang lebih dikenal dengan GERWANI ini dahulu bernama GERWIS yakni Gerakan Wanita Sedar. Lahirnya GERWIS tak lepas dari sumbangsih organisasi-organisasi perempuan dari pelbagai daerah, antara lain Rukun Putri Indonesia (RUPINDO) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Bandung, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Gerakan Wanita Rakyat Indonesia dari Kediri (GERWINDO), Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruan, dan Persatuan Wanita Sedar dari Madura.

                Keberadaan GERWIS sendiri bermula dari pertemuan di Surabaya  pada 7 mei 1950. Pertemuan tersebut mulanya hanya dihadiri oleh 3 organisasi sahaja, yaitu RUPINDO, Gerakan Wanita Sedar Bandung dan Gerakan Wanita Sedar Surabaya. Tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk berfusi, karena banyaknya organisasi perempuan di indonesia dengan tujuan yang bervariatif dianggap akan melemahkan pergerakan perempuan pada saat itu. Setelah pertemuan di Surabaya, 3 organisasi tersebut mencari dan mengajak organisasi perempuan lainnya dan memiliki tujuan yang sama dengan mereka untuk berfusi.

                Pasca pertemuan kongres besar yang dilaksanakan di semarang, pada 3-6 Juni 1950 GERWIS resmi dibentuk. Pada buku yang ditulis oleh Amurwani Dwi Lestariningsih setelah pembentukan GERWIS, anggotanya dikerahkan ke daerah-daerah untuk menggerakkan rakyat demi terbentuknya negara kesatuan, yang berasas kekeluargaan dan persaudaraan yang sempurna dan bersendikan Pancasila.

                Pada tahun 1952 anggota tersebut meningkat menjadi 4000 orang, tak membutuhkan waktu lama dalam 2 tahun berikutnya jumlah anggota meningkat dan mencapai angka 74.977 orang. Tak khayal, GERWIS menjadi organisasi perempuan terbesar pertama se-indonesia. Gerakannya yang menentang sistem feodalisme dan perkawinan poligami juga permaduan, telah banyak menarik massa untuk menjadi anggota.

Terbentuknya GERWIS sendiri memang tak dapat terlepas dari pengaruh PKI, hal ini dikarenakan beberapa anggota GERWIS pada saat itu juga menjadi bagian dari  partai politik, salah satunya yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun keterlibatan anggota PKI dalam GERWIS tidak merubah independensi organisasi tersebut. Perubahan nama GERWIS menjadi GERWANI sendiri karena perubahan kepemimpinan. Pergerakan GERWANI mengalami berubah orientasi sejak perubahan kepemimpinan, GERWANI lebih berorientasi pada penggalangan massa seluas-luasnya dan berjuang demi hak-hak wanita dan anak-anak.

Saya pribadi ketika membaca buku ini sempat merasa terheran-heran, Doktrin yang ditanamkan rezim suharto terhadap GERWANI kepada masyarakat amat berbeda dengan kenyataannya. Pada zaman itu pergerakan GERWANI semata hanya untuk melawan ketidak adilan terhadap perempuan. GERWANI dalam salah satu program kerjanya telah mendirikan sekolah-sekolah untuk memberantas buta huruf. Antara lain adalah sekolah taman kanak-kanak yang selama ini kita kenal sebagai TK.

Kekayaan data yang dimiliki buku “GERWANI Kisah Tapol Wanita di Kamp Platungan” ini mampu menambahkan nutrisi terhadap pembaca. Penulis juga mampu menghadirkan kesaksian nyata dari cuplikan-cuplikan wawancaranya dengan mantan anggota dan mantan ketua GERWANI. Pemaparan fakta dalam buku cukup bisa membuka mata pembaca tentang betapa kejam propaganda rezim orde baru, dan betapa signifikan dampaknya terhadap masyarakat kita.

dok. pribadi
Propaganda yang dilakukan rezim orde baru dalam peristiwa G30S 1965 terhadap GERWANI, sungguh mengiris hati. Media massa menyiarkan adanya keterlibatan wanita pada pembunuhan di Lubang Buaya. Seperti penjelasannya pada bab kedua berikut, “Berbagai versi media massa menyebutkan bahwa Gerwani-lah kelompok yang harus bertanggung jawab atas penyiksaan dan pembunuhan para jendral.  Menurut berita yang dimuat dalam Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata, anggota-anggota gerwani dengan bertelanjang dan menari-nari “harum bunga” dan memotong alat vital para jendral sebelum mereka dimasukkan ke sebuah sumur di lubang buaya“. Namun, hal ini mampu disanggah oleh wawancaranya dengan Prof. Dr. Arif Budianto salah satu dokter yang turut serta dalam otopsi mayat jendral-jendral tersebut.

Mengetahui sejarah yang sesungguhnya adalah kewajiban bagi kita sebagai masyarakat indonesia. Untuk memenuhi kewajiban itu salah satu treatment yang bisa dilakukan adalah dengan membaca. Buku ini mampu memberikan fakta menarik di tengah hegemoni patrarki yang masih melekat akibat propaganda orde baru. Ia juga mampu menyadarkan pembaca mengapa patriarki masih melekat pada masyarakat kita sampai hari ini. Dari skala 1- 10 buku ini menduduki angka 10. Buku ini saya temukan pada toko buku bekas, beberapa waktu sempat saya temukan di toko buku mainstream. Selamati mencari buku dan menjelajahi isi buku.

Comments